Menurut penuturan tokoh masyarakat Desa Manikyang yang bernama I Wayan Catra yang beralamat di Br. Dinas Cepaka yang dulu pernah menjabat sebagai Bendesa Adat Manikyang bahwa konon dahulu kala masih Pemerintahan jaman Kerajaan, ada 2 (dua) Kerajaan yang berkuasa di wilayah Kecamatan Selemadeg yaitu Kerajaan Wanagiri dan Kerajaan Bajera. Kedua Kerajaan tersebut saling bermusuhan dan sepakat Kerajaan Bajera akan menyerang kerajaan Wanagiri. Baru sampai di wilayah Desa Pupuansawah pasukan/bala tentara Kerajaan Bajera di hadang oleh pasukan Kerajaan Wanagiri yang waktu itu di perkuat oleh pasukan Sarwa Gumatap Gumitip yang bisa menyengat (Ngacel) dan pada saat itu pasukan Kerajaan Bajera mundur/kalah. Kurang lebih jam 12.00 siang pasukan Kerajaan Bajera yang tersisa di siapkan untuk makan siang, namun nasib sial terus mengikuti, karena tidak ada piring terpaksa seorang penyeroan di suruh mencari daun pisang sebagai alas nasi.
Di wilayah itu hanya ada seorang Dukuh sakti yang ada di Wilayah Pura Luhur Aseman. Disanalah penyeroan itu minta daun pisang, namun dia tidak membawa perabot untuk memetik daun pisang. Dikasi lah sebuah temutik (sejenis pisau) oleh Dukuh Sakti dengan satu syarat temutik tidak boleh di selipkan di pinggang (di selet). Setelah berhasil memetik beberapa helai daun pisang mendadak turun hujan yang lebat. Karena cepat-cepat mengambil daun pisang, temutik itu pun di selipkan di pinggangnya oleh penyeroan itu. Betapa terkejutnya penyeroan itu Karena temutik pemberian Ki Dukuh sakti itu langsung lenyap hanya tinggal warangkahnya saja.
Lama kelamaan penyeroan itu hamil dan lahir seorang anak laki-laki yang di beri nama “DEWA EKA” (karena lahir merupakan putra pertama yang tidak meiliki ayah). Tidak jauh dari Aseman tempat Ki Dukuh Sakti tersebut kurang lebih 1 (satu) Km ke selatan ada pohon beringan yang sangat besar. Setiap rahinan pohon tersebut mengeluarkan sinar sehingga Nampak jelas dari kejauhan. Ada seorang gadis yang tinggal disana yang bernama Luh Manik yang kemudian di jodohkan Dewa Eka dengan Luh Manik. Mereka berdua (Dewa Eka dan Luh Manik) langsung bertempat tinggal di wilayah pohon beringin tersebut.
Tidak Lama Kemudian pohon beringin itu mati tampa sebab. Dewa Eka percaya bahwa pohon beringin itu adalah Ke-Hyangan kemudian di bangunlah pelinggih yang kemudian menjadi sungsungan rakyat disana. Dan saat itu pula wilayah tersebut untuk pertama kalinya disebut Desa Manikyang. Pelinggih tersebut menjadi sungsungan warga Desa Adat Manikyang sampai saat ini. Pelinggih itu ada di Wilayah Pura Puseh Desa Adat manikyang.
Jadi kata Manikyang mempunyai makna “Dewi Cantik yang bersinar”, yang melambangkan simbul seorang perempuan yang elok paras ayu sebagai cerminan dalam kehidupan berumah tangga agar mampu memberikan sinar Suci bagi semua Masyarakat Desa Manikyang berada dalam satu wadah Desa Adat yatu Desa Adat Pakraman Manikyang, dan wilayah Dinas administrasi Desa Manikyang.
Di Desa Manikyang terdapat satu Pura Umum yaitu Pura Luhur Aseman yang terletak di Banjar Adat Aseman, Br. Dinas Cepaka. Pura ini merupakan pura penyungsungan subak. Lokasi Pura Luhur Aseman diperkirakan berada dalam ketinggian kurang lebih 400 meter di atas permuaan laut. Iklim di lokasi Pura Luhur Aseman adalah sedang dalam arti sejuk, segar, dan tidak terlelu dingin maupun panas. Pura ini dapat dicapai melalui tiga jalur darat yaitu: Jalan Jurusan Bajera – Pupuansawah, Jalan Jurusan Selemadeg – Manikyang, Jalan Jurusan Megati – Cepaka.
Jarak tempuh dari kota Kecamatan Selemadeg kurang lebih 8 km, dan dari kota kabupaten Tabanan kurang lebih 25 km. Sedangkan jarak dari kota Propinsi Denpasar kurang lebih 46 km. Pura Luhur Aseman Mempunyai penataran kurang lebih 8 are, dengan alas kekerannya lebih kurang 1 Ha mengelilingi Pura Luhur Aseman. Tanah pelaba milik Pura Luhur Aseman antara lain 2,5 Ha tanah tegalan, dan 2,5 Ha tanah basah/sawah. Jumlah keseluruhannya lebih kurang 5 Ha pelaba Pura, dan hingga kini belum bersertifikat.